Apa Penyebab Bell’s Palsy ?
Bell’s Palsy pertama kali dideskripsikan oleh Sir Charles Bell pada 1821, seorang ahli anatomi dan dokter bedah (Edho). Bell’s Palsy adalah kelemahan pada otot wajah akibat kelumpuhan pada saraf perifer wajah secara ipsilateral yang bersifat akut yang penyebabnya tidak diketahui. Bell’s Palsy pada umumnya mengenai salah satu sisi wajah. Insidensi Bell’s Palsy sebesar 20-30 kasus dari 100.000 individu di dunia yang menjadikan Bell’s Palsy sebagai kasus terbanyak dari kelumpuhan perifer pada wajah unilateral secara akut di dunia (Yuwono, 2016).
Bell’s Palsy pertama kali dideskripsikan oleh Sir Charles Bell pada 1821, seorang ahli anatomi dan dokter bedah (Edho). Bell’s Palsy adalah kelemahan pada otot wajah akibat kelumpuhan pada saraf perifer wajah secara ipsilateral yang bersifat akut yang penyebabnya tidak diketahui. Bell’s Palsy pada umumnya mengenai salah satu sisi wajah. Insidensi Bell’s Palsy sebesar 20-30 kasus dari 100.000 individu di dunia yang menjadikan Bell’s Palsy sebagai kasus terbanyak dari kelumpuhan perifer pada wajah unilateral secara akut di dunia (Yuwono, 2016).
Terdapat beberapa teori yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya penyakit Bell’s Palsy diantaranya :
- Iskemik vascular,
- Infeksi virus dan bakteri,
- Herediter
- Status imunologi.
Teori tentang infeksi virus menjadi teori yang paling banyak dibahas karena berhubungan dengan reaktivasi infeksi dari virus di ganglion genikulatum yang menyebar ke saraf fasialis. Virus yang diduga berperan yaitu virus herpes simpleks 1 dan virus herpes zoster. Infeksi virus akan menimbulkan reaksi inflamasi sehingga terjadi kompresi pada saraf fasialis dan menyebabkan gejala klinis (Yuwono, 2016).
Gejala klinis pada umumnya pasien mengalami beberapa keluhan :
- Kelemehan atau kelumpuhan pada salah satu sisi wajah.
- Keluhan berupa sudut mulut yang tidak dapat diangkat,
- Pengecapan terganggu,
- Sensitif terhadap suara normal (hiperakusis),
- Produksi air mata berkurang sehingga mata menjadi kering (Yuwono, 2016).
Bagaimana Mekanisme Terjadinya Bell’s Palsy ?
Bell’s palsy memiliki etiologi yang idiopatik dan beragam seperti virus, bakteri, herediter, imunologi dan iskemik vaskular. Etiologi yang paling dominan adalah karena herpes simpleks virus dan herpes zoster virus. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang menemukan genom herpes simpleks virus pada ganglion genokulatum. Penelitian lain juga menemukan antigen herpes zoster virus pada intraneuron ganglion genikulatum. Sifat virus herpes yang dapat memiliki periode laten pada jaringan saraf perlu disajikan sebagai rujukan terhadap penyebab penyakit Bell’s palsy.
Bell’s palsy memiliki etiologi yang idiopatik dan beragam seperti virus, bakteri, herediter, imunologi dan iskemik vaskular. Etiologi yang paling dominan adalah karena herpes simpleks virus dan herpes zoster virus. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang menemukan genom herpes simpleks virus pada ganglion genokulatum. Penelitian lain juga menemukan antigen herpes zoster virus pada intraneuron ganglion genikulatum. Sifat virus herpes yang dapat memiliki periode laten pada jaringan saraf perlu disajikan sebagai rujukan terhadap penyebab penyakit Bell’s palsy.
Secara patologis, Bell’s palsy disebabkan karena terjadi reaksi inflamasi atau defek dari saraf motorik bawah pada jaras nervus fasialis (Gambar 1). Nervus fasialis memiliki akar persarafan pada pons di batang otak dan jaras yang membentuk ganglion genikulatum melalui kanalis fasialis. Kanalis fasiali berbentuk corong sehingga memiliki ujung diameter yang berbeda. Ujung diameter yang paling kecil disebut segmen labirin dengan diameter ± 0,66 mm. Peningkatan tekanan pada jaras nervus fasialis yang melalui kanalis fasialis dapat menyebabkan edema dan penyumbatan aliran saraf sehingga mengganggu konduktivitas kerja saraf.
Teori reaktivasi laten virus seperti herpes simpleks tipe I atau herpes zoster virus di jaras nervus fasialis dapat menyebabkan reaksi inflamasi akut dan pembengkakan lokal daerah inflamasi. Pembengkakan tersebut akan menambah diameter jaras nervus fasialis dan kompresi daerah sekitar saraf. Hal tersebut akan mengganggu sistem konduktivitas saraf sehingga impuls yang dikirim tidak diterima secara penuh di saraf perifer maupun sentral. Reaksi inflamasi tersebut juga akan menyebabkan iskemik dan demyelinisasi sel saraf. Teori lain yang mendasari Bell’s palsy adalah iskemik vaskular. Hal tersebut didukung dengan penelitian bahwa diabetes mellitus koinsiden dengan kejadian Bell’s palsy. Orang dengan diabetes mellitus memiliki faktor resiko berupa mikroangiopati, aterosklerosis dan hipertensi yang dapat menurunkan diameter lumen vaskular. Penurunan lumen vaskular tersebut akan menurunkan aliran darah ke vasa nervosum (nervus fasialis) sehingga menimbulkan kegagalan mikrosirkuler aliran darah dan proses demyelinisasi (Mujaddidah N., 2017; Bahrudin M., 2011)
Bagaimana Terapi Bell’s Palsy ?
Tatalaksana Bell’s palsy ditetapkan berdasarkan klasifikasi skala I-VI yang ditetapkan oleh House dan Brackman. Klasifikasi tersebut menilai derajat disfungsi fasial yang dialami pasien. Tujuan terapi pada kasus Bell’s palsy yakni memperbaiki fungsi nervus facialis dan mengurangi kerusakan saraf (PERDOSSI, 2016).
Algoritma Tatalaksana Bell’s Palsy (PERDOSSI, 2016).
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid yang diberikan yakni prednisone 60 mg per hari selama sepuluh hari. Efek maksimum steroid terhadap perbaikan kondisi Bell’s palsy apabila diberikan dalam 72 jam pertama sejak onset gejala dialami pasien. Pada RCT didapatkan recovery rate setelah sembilan bulan pada pasien yang memeroleh dan tidak memeroleh terapi prednisolone yakni 94% dan 82,6%. Selain itu juga terjadi reduksi sinkinesis motorik pada pasien yang diberikan prednisolone. Meskipun steroid yang diberikan dalam jangka pendek, namun efek samping juga bisa muncul. Selain itu, prednisolone juga harus dihindari untuk pasien dengan imunosupresi serta sepsis karena dapat menyebabkan ulkus peptikum, gangguan fungsi hepar, atau gangguan fungsi ginjal (Somasundara dan Sullivan, 2017).
2. Antivirus
Antivirus yang lazim diberikan pada penderita Bell’s palsy yaitu asiklovir dengan dosis 400 mg, dikonsumsi lima kali sehari selama 7-10 hari atau valasiklovir 1000 mg dikosumsi tika kali sehari. Dalam Cochrane review, disebutkan bahwa recovery rate dalam dua penelitian placebo-control trial pada kelompok pasien yang menerima kombinasi antivirus dengan prednisolone serta monoterapi dengan prednisolone yakni 100% serta 91% dan 95% serta 90%. Namun apabila kombinasi terapi tersebut diberikan empat hari setelah onset gejala, hasilnya tidak signifikan (Tiemstra dan Khatkhate, 2007). Efek samping yang bisa muncul pada pemberian antivirus diantaranya mual, muntah, nyeri abdomen, diare, pusing, konvulsi, serta hepatitis (Somasundara dan Sullivan, 2017).
3. Melindungi mata
Salah satu manifestasi klinis yang dapat muncul pada pasien Bell’s palsy adalah gangguan lakrimasi berupa penurunan produksi air mata. Sehingga dapat diberikan aritificial eye drop untuk melubrikasi mata, utamanya pada siang hari untuk mencegah kerusakan pada mata (PERDOSSI, 2016).
4. Terapi Fisik
Terapi fisik yang dapat diberikan untuk pasien Bell’s palsy yakni fisioterapi, akupuntur, serta terapi bicara untuk memperbaiki kualitas hidup penderita. Menurut Nicastri et.al (2013), terapi fisik efektif untuk Bell’s palsy derajat V-VI, sementara pada derajat II-IV perbaikan kondisi fisik bisa berlangsung spontan.
Tatalaksana Bell’s palsy ditetapkan berdasarkan klasifikasi skala I-VI yang ditetapkan oleh House dan Brackman. Klasifikasi tersebut menilai derajat disfungsi fasial yang dialami pasien. Tujuan terapi pada kasus Bell’s palsy yakni memperbaiki fungsi nervus facialis dan mengurangi kerusakan saraf (PERDOSSI, 2016).
Algoritma Tatalaksana Bell’s Palsy (PERDOSSI, 2016).
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid yang diberikan yakni prednisone 60 mg per hari selama sepuluh hari. Efek maksimum steroid terhadap perbaikan kondisi Bell’s palsy apabila diberikan dalam 72 jam pertama sejak onset gejala dialami pasien. Pada RCT didapatkan recovery rate setelah sembilan bulan pada pasien yang memeroleh dan tidak memeroleh terapi prednisolone yakni 94% dan 82,6%. Selain itu juga terjadi reduksi sinkinesis motorik pada pasien yang diberikan prednisolone. Meskipun steroid yang diberikan dalam jangka pendek, namun efek samping juga bisa muncul. Selain itu, prednisolone juga harus dihindari untuk pasien dengan imunosupresi serta sepsis karena dapat menyebabkan ulkus peptikum, gangguan fungsi hepar, atau gangguan fungsi ginjal (Somasundara dan Sullivan, 2017).
2. Antivirus
Antivirus yang lazim diberikan pada penderita Bell’s palsy yaitu asiklovir dengan dosis 400 mg, dikonsumsi lima kali sehari selama 7-10 hari atau valasiklovir 1000 mg dikosumsi tika kali sehari. Dalam Cochrane review, disebutkan bahwa recovery rate dalam dua penelitian placebo-control trial pada kelompok pasien yang menerima kombinasi antivirus dengan prednisolone serta monoterapi dengan prednisolone yakni 100% serta 91% dan 95% serta 90%. Namun apabila kombinasi terapi tersebut diberikan empat hari setelah onset gejala, hasilnya tidak signifikan (Tiemstra dan Khatkhate, 2007). Efek samping yang bisa muncul pada pemberian antivirus diantaranya mual, muntah, nyeri abdomen, diare, pusing, konvulsi, serta hepatitis (Somasundara dan Sullivan, 2017).
3. Melindungi mata
Salah satu manifestasi klinis yang dapat muncul pada pasien Bell’s palsy adalah gangguan lakrimasi berupa penurunan produksi air mata. Sehingga dapat diberikan aritificial eye drop untuk melubrikasi mata, utamanya pada siang hari untuk mencegah kerusakan pada mata (PERDOSSI, 2016).
4. Terapi Fisik
Terapi fisik yang dapat diberikan untuk pasien Bell’s palsy yakni fisioterapi, akupuntur, serta terapi bicara untuk memperbaiki kualitas hidup penderita. Menurut Nicastri et.al (2013), terapi fisik efektif untuk Bell’s palsy derajat V-VI, sementara pada derajat II-IV perbaikan kondisi fisik bisa berlangsung spontan.
Bagaimana Pemeriksaan Fisik Bell's Palsy?
Pemeriksaan fisik pada intinya adalah melalakukan pemeriksaan saraf fasialis, seperti :
Pemeriksaan fisik pada intinya adalah melalakukan pemeriksaan saraf fasialis, seperti :
- Pasien diminta tersenyum, lalu akan tampak kelumpuhan m. orbicularis oris unilateral, dan bibir tertarik ke sisi wajah yang normal (kontralateral)
- Lalu saat pasien diminta mengangkat alis, terlihat sisi dahi datar yang mengalami kelumpuhan
- Pada awal fase, pasien merasa ada hipersaliva (PPK, 2014)
Hal-hal yang perlu dicurigai danya lesi serebral, serebelar, atau batang otak melainkan bukan Bell’s Palsy adalah sebagai berikut :
- Hemiparesis
- Ataksia
- Nistagmus
- Diplopia
- Paresis saraf (PPK, 2014)
Bagaimana Pemeriksaan Penunjang untuk Bell’s Palsy ?
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan diantaranya :
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan diantaranya :
Px radiologis dengan CT Scan untuk menyingkirkan adanya keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), fraktur, dan metastasis tulang (PPK, 2014).
Bagaimana pencegahan, komplikasi, dan prognosis Bell’s Palsy ?
Pencegahan
Penyebab Bell’s Palsy tidak begitu diketahui, sehingga untuk pencegahan bell’s palsy tidak bisa dilakukan (Lotfipour, 2019).
Penyebab Bell’s Palsy tidak begitu diketahui, sehingga untuk pencegahan bell’s palsy tidak bisa dilakukan (Lotfipour, 2019).
Komplikasi
Komplikasi Bell's Palsy dapat meliputi:
Komplikasi Bell's Palsy dapat meliputi:
- Kerusakan permanen pada saraf wajah
- Pertumbuhan kembali yang abnormal dari serabut saraf, menghasilkan kontraksi otot-otot tertentu yang tidak disengaja ketika mencoba untuk menggerakkan otot lain (synkinesis)
- Kebutaan sebagian atau seluruhnya karena kekeringan yang berlebihan dan goresan kornea (Taylor, 2019).
Prognosis
Secara prognosis, pasin dibagi menjadi tiga kelompok :
Secara prognosis, pasin dibagi menjadi tiga kelompok :
- Grup 1: Pemulihan total fungsi motoric wajah tanpa gejala sisa
- Grup 2: Pemulihan motoric wajah yang tidak lengkap, tetapi tanpa adanya cacat kosmetik.
- Grup 3: Gejala sisa neurologis permanen yang jelas secara kosmetik dan klinis.
Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy pulih tanpa cacat yang terlihat dalam waktu 6 minggu hingga 3 bulan. Sebagian besar pasien yang menderita Bell’s palsy mengalami neurapraxia atau blok konduksi saraf lokal. Pasien-pasien ini cenderung memiliki pemulihan saraf yang cepat dan lengkap.
Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson, memiliki pemulihan yang cukup baik, tetapi biasanya tidak lengkap. Faktor risiko yang diduga terkait dengan hasil yang buruk pada pasien dengan Bell palsy termasuk :
- Usia lebih dari 60 tahun,
- Kelumpuhan total
- Penurunan rasa atau aliran saliva di sisi kelumpuhan (biasanya 10- 25% dibandingkan dengan sisi normal pasien) (Taylor, 2019).
Faktor-faktor lain yang diduga berhubungan dengan hasil yang buruk termasuk nyeri di daerah auricular posterior dan penurunan lakrimasi (Taylor, 2019)
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin M. 2011. Bell’s Palsy (BP). Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang 7(15): 20-25.
Lotfipour, S, 2019, Bell’s Palsy. www.emedicinehealth.com/bell_palsy/article_em.htm [diakses pada 9 Juli 2019].
Nicastri, M., Mancini, P., Seta, D., Bertoli, G., Prosperini, L., Toni, D., et.al. 2013. Efficacy of Early Physical Therapy in Severe Bell’s Palcy : A Randomized Control Trial. Neurorehabilitation and Neural Repair. 27(6):542-51.
Mujaddidah N. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy. Qanun Medika 1(2): 1-11.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta : PERDOSSI.
Panduan Praktik Klinis, 2014, Jakarta.
Taylor, D.C., 2019, Bell Palsy, https://emedicine.medscape.com/article/1146903 [diakses pada 9 Juli 2019].
Tiemstra, J.D., Khatkhate, N. 2007. Bell’s Palsy : Diagnosis and Management. American Academy of Family Physicians. 76(7):997-1002.
Somasundara, D., Sullivan, F. 2017. Management of Bell’s Palsy. Australian Prescriber. 40(3):94-97.
Yuwono, E., 2016, Beell’s Palsy : Anatomi hingga Tatatlaksana. Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK UKI/RS UKI. Volume 32, number 1.
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin M. 2011. Bell’s Palsy (BP). Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang 7(15): 20-25.
Lotfipour, S, 2019, Bell’s Palsy. www.emedicinehealth.com/bell_palsy/article_em.htm [diakses pada 9 Juli 2019].
Nicastri, M., Mancini, P., Seta, D., Bertoli, G., Prosperini, L., Toni, D., et.al. 2013. Efficacy of Early Physical Therapy in Severe Bell’s Palcy : A Randomized Control Trial. Neurorehabilitation and Neural Repair. 27(6):542-51.
Mujaddidah N. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy. Qanun Medika 1(2): 1-11.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta : PERDOSSI.
Panduan Praktik Klinis, 2014, Jakarta.
Taylor, D.C., 2019, Bell Palsy, https://emedicine.medscape.com/article/1146903 [diakses pada 9 Juli 2019].
Tiemstra, J.D., Khatkhate, N. 2007. Bell’s Palsy : Diagnosis and Management. American Academy of Family Physicians. 76(7):997-1002.
Somasundara, D., Sullivan, F. 2017. Management of Bell’s Palsy. Australian Prescriber. 40(3):94-97.
Yuwono, E., 2016, Beell’s Palsy : Anatomi hingga Tatatlaksana. Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK UKI/RS UKI. Volume 32, number 1.